Barangsiapa yang menjadi pelopor (mengajak) satu sunnah yang baik dalam Islam, kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana orang yang mengikutinya, tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. (HR. Muslim)
Ada orang yang telah dikubur mati, namun ternyata ia masih beramal di muka bumi. Dan ada pula orang yang jasadnya masih berada di muka Bumi, tetapi keberadaannya layaknya orang yang telah mati. Orang yang enggan menyambut hidayah, menutup mata dari seruan kebaikan menuju Rabbnya, hakikatnya seperti orang mati meskipun jasadnya masih mampu berkeliaran di Bumi. Sedikitpun ia tidak mampu mengambil manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi bagi orang lain. Adapun orang yang menerima hidayah setelah sebelumnya tersesat dan tidak tahu apa-apa, ibarat orang yang kembali hidup dari kematiannya.
Kebodohan (terhadap ilmu syar'i) adalah kematian bagi ahlinya, sebelum ia mati meninggalkan dunia. Jasadnya adalah kuburan bagi ruhnya, sebelum tanah menjadi kuburannya. (Abdullah bin Mubarak dalam kitab Ighatsul Lahfan karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah)
"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya terang, dimana dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang dalam keadaan gelap gulita, yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?" (QS. al-An'am: 122)
Begitulah perumpamaan dari Allah terhadap orang yang menerima ilmu dan hidayah maupun orang yang menampiknya. Orang yang menyambut ilmu syar'i dan mengamalkannya bukan saja memiliki keutamaan hidup di dunia, bahkan ia bisa menjadi penyeru manusia di jalan kebaikan. Nantinya, meski jasadnya telah berkalang tanah, ilmunya akan terus tersebar di penjuru permukaan Bumi. Ilmu yang ditinggalkannya masih mampu mengajak manusia ke jalan Allah, meski penyampainya telah tiada.
Manusia yang semasa hidup hatinya diterangi oleh cahaya ilmu dan hidayah Allah, dimana ia berjalan di muka Bumi dengan aturan Rabbnya, kemudian ia menginspirasi orang lain untuk berbuat kebaikan seperti dirinya, maka ialah pelopor kebaikan bagi orang-orang yang mengikutinya, baik yang tinggal satu masa dengannya, maupun generasi setelahnya.
Tengoklah kisah para salafush shalih yang telah meninggalkan bekas berupa "buku pintar" dan karya-karya tulisannya yang lain. Begitulah cara mereka menjadi penyeru kebaikan, bahkan hingga setelah kematiannya. Nasehat dan petuah-petuah ilahiyah mereka termaktub abadi dan menjadi cahaya bagi para pembacanya.
Karya para ulama' ibarat anak panah yang akan hidup hingga hari kiamat. (Ibnul Jauzi)
Karya-karya itu menjadi sumber penghasilan (berupa pahala yang tidak putus) bagi para penulisnya yang ikhlas. Dimana nilai penghasilan itu tergantung sejauh mana peredaran ilmunya dan hingga kapan ilmu itu dimanfaatkan orang lain. Ilmu yang dimanfaatkan orang lain akan menjadi pahala yang terus mengalir, meskipun sang pemilik telah tiada.
Namun, bagi orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas ilmu untuk berkarya, masih ada pilihan lain untuk dijadikan jejak kebaikan yang ia tinggalkan setelah matinya. Jejak itu dapat ditinggalkan salah satunya dengan cara membangun atau berpartisipasi dalam pendirian lembaga maupun markas dakwah. Selagi proyek-proyek dakwah yang dibangun itu masih berjalan, maka para pendiri dan orang-orang yang berperan di dalamnya akan mendapat pahala seperti para pengelolanya yang masih hidup. Ia mendapat pahala dakwah sebagaimana yang dilakukan oleh penerusnya yang menjalankan misi dakwah ilallah. Baik pahala sebagai pelopor kebaikan, maupun sebagai orang yang mengajak atau menunjukkan kepada kebaikan.
Jadi, bukankah jalan kebaikan dan ladang pahala itu terbuka lebar sekali? Jika kita mulai lelah, maka serulah diri sendiri, "Sebentar lagi, sebentar lagi. Waktu istirahat kita sebentar lagi, in shaa Allah ..."
Oleh : Ustadz Abu Umar Abdillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar